BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Belajar merupakan suatu aktivitas yang melibatkan
indera, akal, dan qalbu menuju perubahan secara terencana, agar tahu, mau, dan
mampu hidup pada masanya. Belajar Dasar-dasar Metafisika turut mengarahkan
manusia untuk berupaya mengerti lebih dalam keberadaannya, sehinga berpikir
matefisis sebagai pengaruh dari belajar dasar-dasar metafisika tersebut dapat
meredam hedonisme dan materialisme. Hal ini selaras dengan karakteristik
metafisika yang menekankan kepada pengetahuan akal budi, di mana isi dari pengetahuan
akal budi itu lebih pasti ketimbang dengan pengetahuan inderawi yang senantiasa
dalam perubahan, yang justru metafisika bila dipelajari mendorong orang untuk
mempergunakan akal budi dalam proses mencapai realitas ruhaniah sebagai
realitas mutlak sang pengatur seluruh alam, dan memang realitas mutlak ini
dapat digapai oleh akal budi, sehingga memposisikan realitas material tidak
penting manakala menghambatnya. Namun watak metafisika mengakui mengenai tetapnya
ada perubahan antara rohani dan jasmani.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa yang dimaksud dengan pengertian Ontologi dan Metafisika?
1.2.2
Apa yang dimaksud Kosmologi?
1.2.3
Apa yang dimaksud Asas Ontologis Potensi dan Martabat Manusia?
1.2.4
Apa yang dimaksud Asas Ontologis Kependidikan dan Kebudayaan?
1.3
Manfaat
dan Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui konsep dasar Ontologi dan Metafisika
1.3.2
Untuk mengetahui konsep dasar Kosmologi
1.3.3
Untuk mengetahui konsep dasar Asas Ontologis Potensi dan Martabat Manusia
1.3.4
Untuk mengetahui konsep dasar Asas Ontologis Kependidikan dan Kebudayaan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Bidang
Ontologi ( Metafisika )
Bidang filsafat yang menyelidiki makna ada ( eksistensi, existence ) sesungguhnya
merupakan dasar atau landasan bagi semua bidang penyeledikikannya;
karena sesuatu yang akan diselidiki secara a priori sewajarnya, ada lebih
dulu, baru manusia akan mengerti adanya, berminat atau tidak untuk memberikan
perhatian dan apesiasi menurut kodrat ( sesuatu ) yang ada itu. Jadi, bidang ontologi
adalah penyelidikan mendasar dan merupakan modal dasar dan atau prasyarat untuk
penyelidikan.
Meskipun
demikian, pengertian dan makna ada bukanlah secara a priori pula bersifat ada
dengan wujud fisika; karena ada juga sesuatu yang non-fisika ( non-material,
abstrak dan atau konsepsional;
spiritual, kejiwaan, kerokhanian ). Sesuatu yang non fisika atu non
material, umunya disebut: metafisika.
Demikianlah makna ontologi mencakup wilayah dan substansi yang mendasar,
konprehensif dan metafisik.
Dalam
uraian tentang definisi filsafat dijelaskan bahwa obyek filsafat ialah segala
sesuatu, meliputi kesemestaan. Scope filsafat yang amat luas dan tak terbatas
obyeknya itu, perlu adanya pembidangan untuk intensifikasi penyelidikan.
Pembidangan atau sistematika filsafat yang pertama adalah ontologi.
Ontologi
kadang disamakan dengan metafisika, dan metafisika ini disebut juga sebagai
proto-filosofis atau filsafat pertama. Apakah realita ini terbentuk atas satu
unsur (monisme); atau dua unsur (dualisme). Ataukah lebih dari dua unsur, yakni
serba banyak (plularisme).
Pertayaan
metafisika atau ontologis , yakni keseluruhan sifatnya adalah eksistensinya,
wujud atau adanya sesuatu adalah primer; sedangkan sifat yang lain, seperti
ukurannya, bentuknya, warnanya, beratnya dan sebagainya adalah sekunder.suatu
realita itu adalah fundamental atau essensial. Sedanagkan sifat-sifat lain
adalah suatu yang accidental. Ontologi atau metafisika terutama bertolak atas
penyelidikannya tentang hakikat ada (existence, deing).
Secara
garis besar ontologi membedakan ada itu antara: ada mutlak, ada terbatas, ada
umum, dan ada khusus. Brameld menjelaskan bagaimana interpertasi tentang suatu
realita itu dapat bervariasi, misalnya, sesungguhnya hakikat lantai dalam
ruangan belajar kita.
2
“This
is the task of ontology: to determine what is real about any and all aspects of
the world”.(Brameld 1955: 28). Kewajiban pendidikan melalui latar belakang
ontologis ini ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis.
Metafisika diartikan dengan beberapa
pengertian.
a.
Kadang-kadang metafisika diartikan
dengan ontologi itu sendiri.
b.
Secara etimologis metafisika berarti
dibalik atau di belakang fisika ( meta=di belakang ). Istilah ini terjadi
secara kebetulan. Waktu para ahli menyusun untuk membukukan karya Aristoteles,
mereka menempatkan bab tentang filsafat sesudah bab tentang fisika. Tetapi
penamaan metafisika itu bukanlah karena pembahasan bab tersebut sesudah uraian
tentang fisika ( ilmu alam ) saja. Melainkan memang hakikatnya yang diselidiki
oleh metafisika ialah hakikat realita, menjangkau sesuatu di balik realita.
Artinya, berbeda dengan cara mengerti realita dalam arti pengalaman
sehari-hari. Sebab, metafisika ingin mengerti sedalam-dalamnya.
Metafisika
ingin mengerti suatu “otherworld’, sedangkan pengetahuan biasa ingin mengerti
suatu “this wordly”. Metafisika juga mengandung pengertian menyelidiki hakikat
realita dalam arti realita, fakta, materi yang konkret. Metafisika ingin
mengerti segala realita baik fisis, spiritual, maupun yang berubah-ubah atau
tetap, dan yang di balik realita.
2.2Kosmologi
Kosmologi
memusatkan perhatiannya kepada kosmos, yakni keseluruhan sistem semesta raya.
Kosmologi meliputi baik realita yang khusus maupun umum, yang universal. Jadi
kosmologi terbatas pada realita yang lebih nyata dalam arti alam fisis yang
material. Walaupun kosmologi tak mungkin merangkul alam semesta dalam arti
menghayati secara indera, tetapi kosmologi menghayati realita semesta secara
intelektual.
Implikasi
pandangan ontologi di dalam pendidikan ialah bahwa dunia pengalaman manusia
yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isinya dalam
arti sebagai pengalaman sehari-hari. Melainkan sebagai suatu yang tak terbatas,
realitas fisis, spiritual, yang tetap dan yang berubah-ubah ( dinamis ). Juga
hukum dan sistem kesemestaan yang melahirkan perwujudan harmoni dalam alam
semesta, termasuk hukum dan tertib yang menentukan kehidupan manusia
Definisi
ontologi menurut Runes : Ontology: ( Gr. On, being + logos, logic).
3
The
theory of being qua being. For Aristoteles, the First Philosopgy, the science
of the essence of things......syn with metaphysics ( Runes 1963: 219 ).
Ilmu filsafat menjangkau semua
(segala sesuatu) yang ada dan mungkin ada; yang fisika dan metafisika; juga
yang natural maupun supnatural. Artinya, pemikiran filsafat memikirkan dan
menjawab rahasia atau misteri dalam kemestaan; mulai alam semesta (diluar diri
manusia), maupun renungan tentang kejadian atau sumber alam semesta; termasuk
misteri diri pribadi manusia. Filsafat juga menjangkau Maha Pencipta sebagai
Yang Maha Berdaulat dengan kodrat penciptaannya; artinya manusia berusaha
memahami untuk apa alam semesta diciptakan, terutama untuk apa manusia
diciptakaan. Artinya, ajaran filsafat mengupayakan klarifikasi apa misi yang
diamanatkan dalam penciptaan manusia sebagai makhluk yang terunggul yang
mengundang pemikiran atas kandungan misteri yang dipancarkan oleh martabat
kepribadian manusia.
Secara smantika suatu yang dibalik
alam (fisika) ialah yang diistilakan dengan meta (di balik,di
belakang) fisika; atau suatu realita maupun fenomena alam (natural) terkandung
suatu unsur atau aspek non-fisika (non-natural). Istila filsafat untuk
menyatakan adanya suatu di balik alam semesta, dinamakan metafisika. Misalanya,
manusia percaya bahwa hidup pribadinya adalah wujud integritas jasmaniah
rohaniah yang sehat dan berkembang.
Manusia menyaksikan dan membuktikan
wujud dan integritas demikian dalam “pengetahuan dan pengalaman” melalui adanya
fenomena kematian manusia! Ketika manusia hidup, meskipun dalam kesederhanaan
(mungkin kemiskinan) manusia itu akan tetap aktif, mandiri, hangat... dan tidak
akan membusuk. Fenomena demikian, menjadi bukti sebagai data empiris dan
rasional, bahwa ada perbedaan mendasar antara manusia hidup dengan manusia
mati. Artinya, secara deduktif maupun induktif kita percaya ada sesuatu potensi
yang menjamin atau menyebabkan adanya kemampuan manusia untuk bertahan
aktif-mandiri-hangat.
Filsafat realisme apalagi idealisme
(dan spiritualisme) percaya adanya potensi kerohanian yang mendukung integritas
potensi jasmaniah manusia. Jadi, hidup manusia adalah integritas atau kesatuan
fungsional antara potensi kerohanian dan kejasmanian. Kepribadian manusia
secara mendasar dan essensial merupakan perwujudan (baca: pancaran) kerohanian
manusia. Wujud kualitatif kerohanian ini dapat dikatagorikan sebagai aspek
metafisika manusia.
Filsafat yang mengandung trimarta
atau tridharma (pengkajian) yang dikembangkan dan dibudayakan sebagai kesatuan fungsional
dan sinergis. Artinya, setiap realitas atau fenomena akan senantiasa
mengandung nilai ontologis-aksiologis secara kodrati dan apriori.
4
Secara
kategoris integritas komponen yang dimaksud relatif gradual. Artinya, katagoris
yang dikndungnya secara intrinsik kuantitatif-kualitatif gradual. Misalnya,
adanya benda materi tetap mengandung ontologi; meskipun nilai aksiologisnya
relatif amat terbatas.
2.3Asas
Ontologi Potensi dan Martabat Manusia
Sesungguhnya
makna dan asas ontologi berlaku mutlak (a priori) dan universal bagi segala
sesuatu yang ada, dan yang mungkin ada.
Artinya, baik ada fisika (realitas, material),maupun ada metafisika (spiritual,
non-material, immaterial) misal: jiwa, rokh atau kerokhanian.
Diskripsi
ringkas langkah pemikiran di atas, sesungguhnya merupakan bagian daripada
klarifikasi asa onotologis potensi dan martabat manusia. Anlisis demikian akan
terus berlanjut dengan berbagai masalah atau pertanyaan mendasar; separti:
1. Mengapa
manusia memikirkan (merenungi) kehadirannya (penciptaannya).
2. Untuk
apa manusia merenungi dan memerlukan jawab atas kehadirannya.
3. Siapa,
tokoh apa yang mampu menciptakan manusia dan alam semesta; dan apakah tokoh ini
yang secara konvensional diakui sebagai Tuhan Maha Pencipta.
4. Mengapa
dan untuk apa Maha Pencipta menciptakan umat manusia (apa visi-misi penciptaan
manusia)
5. Apakah
potensi martabat kepribadian manusia: jasmani yang unggul (tampan, cantik,
kuat) ataukah sinergi dan integral dengan potensi rokhani yang memanvarkan
keunggulan kerokhanian: indera, pikir, rasa, karsa, cipta, dan akal budi
nurani.
6. Bagaimana
potensi kerokhanian: cinta dan kebajikan sebagai martabat moral manusia yang
oleh nilai-nilai peradaban diakui sebagai nilai suprasional dan supranatural.
7. Bagaimana
pula kehidupan manusia setelah meninggalkan alam dunia (natural), adakah
kehodupan kerokhanian terlepas dari jasmaniah dalam pascadunia; ang dipercaya
sebagai alam keabadian.
Pemahaman
dan pembahasan asas ontologis manusia senantiasa amat fundamental, komprehensif
dan dinamis. Artinya, selama potensi pikir dan kerokhanian manusia berkembang,
maka jangkauan atas nilai ontologis akan terus makin komprehensif.
5
Tegasnya,
penciptaan atau kehadiran manusia di alam semesta bukanlah suatu fenomena atau
realita kebetulan; melainkan tercipta berdasarkan visi-misi universal yang
vundamental, yang hanya dihayati melalui kepercayaan religious. Pandangan
ajaran filsafat hukm alam itu berkembang di barat yang melahirkan paham
liberalisme-kapitalsme dan invidualisme sehingga memuja manusia dengan hak
asasinya semata-mata.
Berdasarkan
asas dan wawasan filsafat theisme religious ini maka secara fundamental pula
diakui (dan diyakini) bahwa visi misi penciptaan manusia adalah sebgai berikut
:
1. Penciptaan
berdasarkan kodrat dan kedaulatan Maha pencipta, dengan memberikan karunia
(=anugrah) kepada subyek manusia sebagai makhluk unggul dan mulia dengan hak
hidup, kemerdekaan (kemandirian untuk berkembang dan bertanggung jawab), dan
hak milik (demi hidup dan kesejahteraannhya).
2. Anugerah
di maksud sekaligus secara intrinsik dan etis mengandung makna amanat yang
wajib dinikmati, dan disyukuri(perhatikan : hidup manusia diamanatkan untuk dipelihara
supaya sehat, agar dapat berkarya, bila sakit wajib berusaha untuk sehat,
mutlak dilarang untuk tidak merawat dirinya, apalagi putus asa, bunuh diri)
maknanya, adalah bahwa hidup (bagian dari HAM) bukanlah milik mutlak pribadi
manusia; melainkan anugerah dan amanat yang dipercayakan dengan mandat
kemandirian untuk kemudian dipertanggung jawabkan kehadapan Maha pencipta. Asa
demikian inilah yang dimaksud dengan asas keseimbangan antara HAM dengan kewajiban asasi manusia (KAM) sabagai
essensi moralitas manusia. Secara rasional dan axiologis, asas demikian
tersirat dalam makna dan nilai adanya anugerah adalah sebuah penghargaan dan
kehormatan asas martabat (kepribadian)
manusia. Keunggulan kepribadian ini akan dibuktikan bilamana manusia itu mampu menunaikan
kewajiban asas manusia (KAM). Jadi, asas keseimbangan HAM dan KAM adalah asas
moralitas kepribadian manusia.
Penghayatan
demikian bersumber dari wawasan religious, istimewa penganut agama islam yang
percaya atas petunjuk (hidayah) maha pencipta, antara lain:
1.
Manusia sebagai khalifah di bumi:
“sesungguhnya aku akan menciptakan manusia sebagai khalifah (pemimpin,
pengelolah) di bumi.” (Al-Quran 2:30)
6
2.
Manusia mengerti visi – misi (amanat)
yang dipercayakan kepadanya juga melalui firman Allah: “dan aku tidak
menjadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah dan mengabdi
kepada-Ku.”(Al-Quran 1:5; dan 51:56).
3. Katagori
dan derajat manusia termulia juga melalui berita kitab suci, al:” manusia
termulia ialah pribadi takwa.”(Al-Quran 49:13).
4. Allah
juga menjanjikan kebahagiaan bagi mereka yang berkepribadian luhur dan mulia
sebagai dilukiskan:”manusia akan bahagia dalam alam keabadian berkat kemuliaan
moral dan martabatnya sebagai dijanjikan Maha Pencipta.”(Al-Quran 3:198)
2.4Asas
Ontologis Kependidikan dan Kebudayaan
Asas
ontologis kependidikan dan kebudayaan sesungguhnya terpadu, dalam makna bahwa
kependidikan adalah upaya melembaga ( dalam keluarga, masyarakat dean negara )
manusia untuk mengembangkan kepribadian manusia. Kepribadian sebagai fungsi (
hidup ) manusia mengembangkan kepribadiannya secara intrinsik dan substantif
berwujud nilai-nilai ( yang berkembang dalam kehidupan berupa: ipteks,
kebudayaan, perdaban ). Jadi pendidikan sebagai fungsi kehidupan manusia berisi
nilai kebudayaan. Dengan perkataan lain, nilai kebudayaan dan peradaban
dikembangkan, diwariskan dan dilestarikan melalui proses kependidikan.
Asas
ontologis kependidikan meliputi:
1. Makna
dan nilai hakiki kependidikan ialah adanya isi dan watak proses teleologis
dalam kehidupan manusia: dari anak remaja, dewasa, mandiri, berkembang
(berketurunan, berkarya)
2. Kepercayaan
manusia akan adanya potensi kepribadian manusia yang berwujud rokhani (jiwa, roh)
yang memberi hidup dan dinamika, kreativitas, cita-karsa, cinta dan budinurani
terpancar sebagai karakter, kepribadian manusia.
3. Ontologis
kependidikan bermakna juga bahwa eksistensi manusia sebagai mikrokosmos secara
kodrati adalah bagian integral dari eksistensi dalam semesta (ALH-SDA) yang
menjamin semua prasyarat hidup dan kebutuhan hidup: cahaya, udara, air,
tambang, flora dan fauna yang dalam perkembagan cipta-karya menjadi budaya dan
peradaban manusia. ALH-SDA dan budaya/peradaban menjadi nilai dan isi
kependidikan.
4. Kepercayaaan
dan realitas bahwa hidup manusia (=eksistensi, eksistensial) dalam integritas
jasmani-rokhani, sebagai pribadi, individu dan subyek mandiri: sebagai subyek
hukum, subyek budaya, subyek moral. Dihadapan antar sesama manusia, alam
semesta, budaya dan peradaban; berpuncak dengan dihadapan Maha Pencipta.
7
Kesadaran kemandirian manusia sebagai subyek
1-2-3, maka manusia berkebudayaan sebagai makhluk unggul dan mulia (bila ia
mampu menunaikan amanat martabat kemanusiaannya) sebagai subyek hukum, subyek
budaya, dan subyek moral.
5. Ontologis
manusia yang hakiki ialah potensi kerokhanian dan martabat manusia sebagai
subyek budaya dan subyek moral yang menjiwai amal-bakti, cinta dan kebajikan
manusia. Motivasi hidup dan pengabdian manusia terutama demi menunaikan amanat
(martabat) kemanusiaannya ke hadapan Maha Pencipta. Asas moralitas ini menjadi
visi-misi kependidikan yang mendasar dan universal.
8
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Makna
dan nilai ontologis (metafisika) dan besifat universal. Artinya, nilai
ontologis secara kodrati senantiasa menjadi bagian integral, bahkan prasyarat
adanya asasi dan primer; sedangkan
bagaimana sifat atau karakter dan bentuk “hanyalah” atribut pelengkap.
2. Nilai
ontologis senantiasa meliputi segala sesuatu
yang ada (fisika dan metafisika); baik umum, universal maupun khusus;
baik plural maupun singular (tunggal). Jadi, ontologis adalah sifat asasi yang
mutlak bagi segala sesuatu; termasuk: alam semesta, manusia dan nilai-nilai
(budaya, iptek, filsafat, perasaban; bahkan agama).
3. Kependidikan
baik segala ilmu normatif maupun kelembagaan dan fungsi praktis senantiasa
memancarkan nilai-nilai yang amat komprehensif, umum. Unuversal; termasuk
nasional, khusus maupun personal. Karenanya, kependidikan mengandung nila dan
dilandasi asas-asas ontologi terutama kejiwaan, atau kepribadian manusia anak
didik khususnya.
4. Kependidikan
dan kebudayaan adalah integritas nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Artinya,
nilai kebudayaan dan peradaban diwariskan, dikembangkan dan dibudayakan melalui
proses pendidikan (=transfer of values) bagi generasi muda, sebagai manusia
sebagai generasi penerus. Jadi, kependidikan adalah fungsi kebudayaan. Artinya,
tidak mungkin ada (ontologis) dan berkembang, serta dipraktekkanya nilai
kebudayaan tanpa kependidikan,tanpa kebudayaan.
5. Makna
dan nilai ontologis dalam kependidikan secara normatif maupun fungsional adalah
bagian integral dari keberadaan manusia sebagai subyek budaya, dan subyek
moral. Tegasnya, keberadaan (ontologis) manusia berkembang melalui fungsi
(ontologis-empistemologis-aksiologis) kependidikan dan kebudayaan. Jadi,
potensi dan perkembangan martabat kepribadian manusia secara kodrati adalah
bagian integral dan fungsional asas ontologis, epistemologis dan aksiologis
seutuhnya; termasuk fungsi kependidikan dan kebudayaan.
3.2
Saran
Bila
manusia adalah makhluk berakal. Ia dengan akalnya memungkinkan untuk dapat
berpikir. Inti berpikir dilihat dari posisi akal berdampingan dengan wahyu,
adalah berfilsafat.
9
Sedangkan berfilsafat intinya
bermetafisika, bahkan metafisika adalah filsafat itu sendiri, yakni
bermetafisis berpikir itu sendiri. Maka manusia adalah makhluk yang
bermetafisika. Dari pernyataan tersebut juga mendasari bahwa manusia harus dan
dapat belajar, di mana belajar itu proses penyelenggaraan perubahan,
pengugahan, dan penggubahan diri secara terencana ke arah yang terbaik.
Lompatan ini bersifat metafisis mengingat gerakan dalam perubahan itu ada
semacam aktualisasi petensia menuju ke arah format atau bentuk diri yang
terbaik, yang justru bentuk diri terbaik berada di balik proses aktualisasi
diri yang tampil fisikis itu. karena itu ada keselarasan antara belajar dengan
dasar-dasar metafisika yang harus dan dapat dipelajari itu; dengan demikian
juga bahwa belajar dasar-dasar metafisika menjadi suatu kesemestian, yang
manakala mengabaikannya sama dengan mengabaikan diri sebagai manusia yang
merupakan manusia karena bermetafisik tadi.
10
DAFTAR RUJUKAN
Hanurawan Fattah, Ahmad Samawi dan Mohammad Noor
Syam.(2006).Filsafat Pendidikan,
Malang: Penerbit Departemen Pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang.
sahabatilmucenter.wordpress.com/landasan-pendidikanfilsafat-ilmu
stitattaqwa.blogspot.com/2011/11/belajar-dasar-dasar-metafisika.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar