A. Pendahuluan
Pembelajaran transformatif merupakan sebuah konsep atau substansi baru
tetapi telah menjadi bahan kajian di berbagai bidang. Substansi ini bahkan
telah mulai tampil sebagai sebuah teori yang paling banyak didiskusikan dan
diteliti dalam bidang pendidikan orang dewasa selama lebih dari 25 tahun
terakhir ini. Teori pembelajaran transformatif telah menjadi wilayah kajian
yang ditandai dengan semakin meningkatkan jumlah publikasi jurnal dan
penyelenggaraan konferensi internasional dua kali setahun yang secara khusus
membahas penelitian tentang pembelajaran transformatif, yang pada saat ini
penelitian untuk disertasi saja telah ada lebih dari 50 buah (Taylor, 2007).
Pembelajaran transformatif merupakan teori belajar yang unik, abstrak, dan
ideal dengan puncaknya yang disebut critical reflection (renungan
kritis). Dalam kaitan ini belajar dipahami sebagai sebuah proses pemberian
makna baru terhadap pengalaman untuk mengarahkan tindakan mendatang (Mezirow
& Associates,1990).
B. Konsep Dasar Pembelajaran Transformatif
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa transformasi pada dasarnya adalah
sebuah proses perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau
pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang
menghasilkan perubahan mendasar pada diri peserta didik. Jadi pembelajaran yang
tidak memberikan dampak perubahan mendasar pada diri peserta didik bukanlah sebuah
pembelajaran transformatif.
Daszko,
Macur & Sheinberg (2004) menulis bahwa dalam Webster Dictionary disebutkan:
„To transform means to change in form, appearance or structure;
meta-morphoses; to change condition, nature or character; to change into another
substance.” (“Untuk mengubah cara untuk mengubah dalam
bentuk, penampilan atau struktur;
meta-morphoses, untuk mengubah keadaan,
sifat atau karakter; untuk
berubah menjadi zat lain ").
Dinyatakan
selanjutnya bahwa: „That is, while all transformation is change, not all
change is transformation. Transformation is a change in kind; not a change in
degree.”
(Artinya, sementara transformasi semua
berubah, tidak semua
perubahan adalah transformasi. Transformasi
adalah perubahan dalam jenis,
bukan perubahan dalam derajat).
Dari sini dapat ditarik pengertian
bahwa transformasi berarti (a) merubah bentuk, penampilan atau struktur; (b)
mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi.
Dengan demikian semua transformasi adalah perubahan, tetapi tidak semua
perubahan adalah transformasi. Perubahan lebih bersifat superfisial, sedangkan
transformasi lebih bersifat substansial.
Lebih lanjut
Cranton (2003) menjelaskan bahwa: At its core, transformative learning
theory is elegantly simple. Through some event, which could be as traumatic as
losing a job or as ordinary as an unexpected question, an individual becomes
aware of holding a limiting or distorted view. If the individual critically
examines this view, opens herself to alternatives, and consequently changes the
way she sees things, she has transformed some parts of how she makes meaning
out of the world. (Pada intinya, teori belajar transformatif adalah elegan
sederhana. Melalui beberapa acara, yang bisa sama traumatis seperti kehilangan
pekerjaan atau sebagai biasa sebagai pertanyaan tak terduga, seorang individu
menjadi sadar memegang pandangan yang membatasi atau terdistorsi. Jika individu
secara kritis menguji pandangan ini, membuka dirinya untuk alternatif, dan
akibatnya mengubah cara dia melihat sesuatu, ia telah mengubah beberapa bagian
dari bagaimana dia membuat yang berarti keluar dari dunia).
Peristiwa perubahan diri sering terjadi terutama setelah seseorang
mengalami sebuah peristiwa yang sangat tidak diharapkan, mengecewakan,
mengherankan, atau membuat-nya trauma. Misalnya saja seorang mahasiswa
mengulang semester selanjutnya. Dengan peristiwa tersebut, seseorang biasanya
menjadi sadar dan pikirannya terbuka ke alternatif lain guna mendapatkan
solusi. Jika hal seperti ini terjadi, maka seseorang yang bersangkutan
mengalami sebuah transformasi.
Sebenarnya peristiwa transformasi juga bisa terjadi dalam konteks yan
sederhana. Sekedar ilustrasi, seorang sekretaris eksekutif sebuah perusahan
yang ikut acara Take Him Out di Indosiar mengaku bahwa dengan banyak
membaca dia mendapat banyak inspirasi. Seorang dosen senior mengaku bahwa
melalui diskusi dia hampir selalu memperoleh inspirasi baru. Sebuah kisah,
setelah seseorang mendapatkan sms dari seorang teman lama yang pernah menjadi
„sahabat spesial“ yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia dan jin
kecuali untuk beribadah kepadaNya, langsung dia ingat dan sadar bahwa selama
ini dirinya telah melakukan berbagai kesibukan berat yang tak jelas arahnya
padahal dulu dia pernah mempedomani firman tersebut dan hidupnya tenang. Maka
sejak saat itu dia terbayang kembali semua kenangan masa lalu, ingat siapa
dirinya yang sebenarnya, siapa keluarganya, bagaimana masa remajanya dulu,
siapa saja yang telah berjasa mendidik dirinya, kemudian dia sering merenung
dan akhirnya memutuskan untuk merubah diri dan arah hidupnya serta kembali
mempedo-mani prinsip tersebut agar hidupnya kembali tenang dan bahkan agar sisa
hidupnya menjadi lebih bermakna.
Diketengahkan
lebih lanjut oleh Cranton (2003) bahwa: It is easier and safer to maintain
habits of mind than to change. It may take a significant or dramatic event to
lead us to question assumptions and beliefs. Other times, though, it is an
incremental process in which we gradually change bits of how we see things, not
even realizing a transformation has taken place until afterward. (Lebih mudah dan lebih aman
untuk mempertahankan kebiasaan pikiran
dari berubah. Mungkin
perlu beberapa peristiwa penting atau
dramatis untuk memimpin kita
untuk mempertanyakan asumsi dan
keyakinan. Lain kali, meskipun,
itu adalah proses bertahap
di mana kita secara bertahap mengubah
bit dari bagaimana kita melihat sesuatu, bahkan tidak menyadari
transformasi telah terjadi sampai sesudahnya).
Mempertahankan atau memelihara suatu kebiasaan lebih mudah dari pada
merubahnya. Apalagi merubah hal-hal yang sudah mantap, sudah menjadi sebuah
prinsip hidup atau bahkan keyakinan. Yang dimaksud keyakinan disini bukan hanya
keyakinan yang terkait dengan agama, melainkan juga keyakinan terhadap diri,
keyakinan terhadap kejujuran atau kebaikan seseorang, keyakinan terhadap
dokter, terhadap keselamatan dalam suatu kondisi tertentu dan sebagainya. Namun
demikian, perubahan bagaimanapun juga perlu dilakukan dan yang mengupayakan
terutama adalah diri sendiri.
Transformasi memang pada dasarnya adalah sebuah proses atau peristiwa
perubahan diri, sehingga yang paling menentukan adalah diri sendiri, diri orang
yang bersangkutan, bukan orang lain. Karena itu perubahan diri merupakan inti
dari proses transformatif learning. Artinya, transformasi mempersyaratkan
upaya, kesadaran, dan kesengajaan dari seseorang yang bersangkutan. Upaya
tersebut diistilahkan dengan refleksi atau renungan, yaitu sebuah proses dan
kemampuan memonitor, mengevaluasi, dan mengarahkan diri. Makin kuat kemampuan
tersebut, makin profesional seseorang dalam melaksanakan suatu tugas.
Sebaliknya makin lemah kemampuan tersebut pada diri seseorang, makin kurang
profesional seseorang dalam melaksanakan tugas apa saja. Substansi ini oleh
Flavell (1992) disebut metakognisi dan menurut hasil penelitian Moedzakir
(1998) substansi tersebut mantap keberadaannya pada seseorang yang memiliki
filosofi pribadi yang kuat dan relevan dengan pekerjaannya. Hal ini ternyata
juga sejalan dengan pandangan Elias & Merriam (2005) dan Merriam &
Brockett (2007).
Transformasi
berkenaan baik dengan individu, komunitas ataupun organisasi. Daszko, Macur
& Sheinberg (2004) menyatakan bahwa transformasi bermula dari pemahaman
yang mendalam terhadap suatu pengetahuan. Dengan pemahaman semacam itu individu
memberi makna baru terhadap kehidupan, peristiwa, dan interaksinya dengan orang
lain. Begitu seseorang memahami suatu pengetahuan secara mendalam, dia segera
mengaplikasikan konsep, prinsip ataupun prosedur pengetahuan tersebut pada
setiap interaksinya yang sepadan dengan orang lain. Earley (2004) bahkan
memaknai transformasi individu sebagai transformation of consciousness (transformasi
kesadaran).
Yang diaplikasikan kedalam suatu tindakan sosial. Dalam pemahaman yang
seperti ini, transformasi bisa mencakup bidang-bidang lain yang lebih luas,
termasuk unsur-unsur psikoterapi, spiritual, dan sosial. Bahkan selanjutnya
transformasi juga bisa mencakup konsep-konsep kapasitas sosial dan psikologis
ke arah tujuan-tujuan kasih sayang, harapan hidup, semangat, dan persahabatan.
Berdasarkan pengertian pokok tentang transformasi di atas, dapat dikatakan
bahwa pembelajaran transformatif adalah pembelajaran yang mampu menghasilkan
perubahan pada diri peserta didik. Pembelajaran yang tidak memberikan dampak
perubahan mendasar pada diri peserta didik dengan demikian sulit disebut sebuah
pembelajaran transformatif.
Secara singkat belajar dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan
potensi diri sendiri. Potensi yang diubahnya bisa pengetahuan, keterampilan,
ataupun sikap. Cara untuk mengubah bisa berupa upaya menghafal, memahami,
mencermati, mengkritisi ataupun menalar suatu hal, bisa berupa melatih diri
untuk menguasai keterampilan tertentu, membiasakan diri untuk melakukan sesuatu
ataupun menyadari hakikat sesuatu nilai. Apabila dikaji lebih lanjut, belajar
pada dasarnya adalah peristiwa psikhis, perubahan kemampuan, upaya aktif,
kegiatan manusia, sebuah proses, bahkan kebutuhan.
C. Strategi Pembelajaran Transformatif
Dari penjelasan tentang konsep dasar transformasi dan pembelajaran
transformatif di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran transformatif telah
menjadi sebuah strategi pembelajaran tersendiri. Di dalamnya terdapat kandungan
potensi yang luar biasa. Apabila potensi tersebut dapat diaplikasikan kedalam
setiap kegiatan pendidikan, maka dapat diharapkan bahwa semua kegiatan
pendidikan merupakan kegiatan yang sangat menjanjikan.
Dewasa ini telah berkembang beberapa perspektif teori belajar transformasional,
di antaranya adalah transformasi rasional atau transformasi personal oleh
Mezirow, transformasi pendidikan atau transformasi individu oleh Boyd, dan
transformasi sosial atau transformasi emansipatori oleh Freire (Taylor, 1998).
Menurut transformasi rasional, proses belajar transformatif adalah proses
pembangunan makna baru terhadap pengalaman diri sendiri berdasarkan
interpretasi sebelumnya guna memandu tindakan –tindakan yang akan datang. Teori
ini menjelaskan bagaimana harapan, kerangka asumsi budaya, dan
anggapan-anggapan seseorang mempengaruhi makna yang diperoleh dari pengalaman
barunya. Kegiatan belajar dilakukan melalui dua ranah, yaitu instrumental dan
komunikatif. Belajar instrumental difokuskan pada proses pemecahan
masalah, sedangkan belajar komunikatif ditekankan pada pemahaman substansi yang
terkandung di dalam pembicaraan orang lain, misalnya tentang nilai, cita-cita,
perasaan, keputusan moral, dan konsep-konsep kebebasan, keadilan, kasih sayang,
buruh, otonomi, komitmen dan demokrasi.
Selanjutnya transformasi pendidikan atau transformasi individu berakar dari
psikologi analisis yang mengartikan transformasi sebagai perubahan mendasar di
dalam pribadi seseorang sebagai akibat dari pengintegrasian dilema pribadi dan
perluasan kesadaran diri. Diyakini bahwa hanya melalui transformasi perubahan
diri yang signifikan bisa terjadi. Tujuan utama transformasi adalah membebaskan
diri individu dari pola-pola kehendak dan norma budaya yang menghambat potensi
aktualisasi diri. Jadi jika Mezirow menfokuskan diri pada konflik kognitif yang
dialami seseorang dalam hubungannya dengan budaya dan menempatkan ego
sebagai pemain utama dalam pencapaian transformasi, maka Boyd menfokuskan diri
pada upaya mengatasi konflik di dalam internal diri individu untuk mencapai
keharmonisan karena diri (self) merupakan bagian sentral dan integral
dari totalitas kepribadian.
Terakhir, transformasi emansipatori diartikan sebagai proses pembebasan
kehidupan dari unsur-unsur pembelenggu, sebuah proses yang berkelanjutan, tiada
henti dan sekaligus dinamis. Freire menekankan transformasi sosial melalui
penggugahan kesadaran kritis (conscientization) masyarakat dan
menempatkan proses pendidikan sebagai sarana yang tepat untuk keperluan
tersebut. Karena itu refleksi kritis dipandang sebagai
kata kunci transformasi. Semakin kritis peserta didik, semakin mampu yang
bersangkutan mengubah kenyataan hidupnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik bertanya Sokratik (Jarvis, 1984). Teknik ini dilaksanakan
dengan cara mengarahkan atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang urut dan logis
kepada peserta didik hingga mereka terdorong untuk merespon dan mengekspresikan
pengeta-huan yang telah dimilikinya, yang belum pernah terkristalisasi oleh
pemikirannya sendiri.
Selanjutnya berkenaan dengan aplikasi strategi pembelajaran transformatif,
Kolb (1984) mengajukan sebuah teori atau model pembelajaran yang disebutnya
sebagai learning style model ataupun experiencial learning theory.
Model pembelajaran ini secara konseptual divisualisasikannya sebagai berikut.
Sekedar sebuah ilustrasi berkenaan dengan pengalaman dapat diambil sebuah
pengalaman dalam beribadah. Di antara pengalaman yang paling sering atau paling
banyak dirasakan setiap orang adalah keresahan atau ketidaktenangan hati.
Ketika seseorang sedang berada di sebuah majelis taklim mendengar
penjelasan ustadz bahwa ketidaktenangan hati bisa diatasi dengan mengikuti
pelatihan sholat khusu’, tiba-tiba saja pada diri orang tersebut timbul rasa
ingin tahu dan dorongan untuk mencobanya, keinginan tersebut ternyata semakin
kuat dan mendorongnya untuk mencaritahu dimana ada pelatihan sholat khusus’ dan
kebetulan segera mendapatkan informasi yang dicari kemudian mengikutinya serta
merasakan betul manfaatnya.
Di sebuah pengajian interaktif bakda subuh di RCTI, seorang ibu muda
menkonsultasikan kegelisahan terhadap suaminya karena sangat tampan hingga
hampir setiap hari dia menelpon sang suami bahkan pernah dalam sehari dia
menelpon delapan kali. Dijawab oleh sang ustadz bahwa perasaan gelisah yang
berlebihan sebenarnya hanya melelahkan diri sendiri. Kegelisahan bisa diatasi
dengan pendekatan spiritual dan pendekatan logika atau akal sehat. Secara
logika atau akal sehat ibu harus siap mental dengan memiliki suami yang
mempunyai banyak kelebihan, seperti sangat tampan, sangat kaya, berpangkat
tinggi dan sebagainya. Wajar kan kalau suami yang sangat tampan berpeluang
menarik perhatian wanita-wanita lain. Jadi yang terbaik adalah sholat memohon
ketenangan hati dan keteguhan iman, mendo’akan agar suami ibu senantiasa
mendapat petunjuk ke jalan yang lurus dan dijauhkan dari maksiat oleh Allah,
dan untuk itu titipkanlah dia sepenuhnya kepada Allah. Manusia itu makhluk yang
memiliki pembawaan rasa gelisah dan syaithon menggunakan pintu perasaan tersebut
untuk masuk ke dalam hati manusia. Karena itu gelisah adalah sangat manusiawi,
sangat wajar, tetapi kegelisahan yang berlebihan berarti kurang wajar.
Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa sifat asli manusia suka mengeluh (jika
mendapat kesulitan putus asa, jika mendapat kesenangan lupa diri). Bahkan dalam
pendidikan, orang tua ada yang sengaja menim-bulkan kegelisahan pada diri anak
untuk memberi semangat berusaha dengan mengatakan ”Hei kalau bergurau terus
waktumu habis tidak untuk belajar, pada hal ujian sudah tinggal dua hari lagi.”
Jadi atasi perasaan gelisah yang berlebihan dengan logika dan lebih mendekatlah
diri kepada Allah. Orang yang bersangkutan langsung menyampaikan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada pak ustadz karena merasa lega dengan penjelasan
pak ustadz bahkan mulai merasakan adanya ketenangan.
Berkenaan dengan apakah strategi pembelajaran betul-betul memiliki peluang
untuk mempengaruhi terjadinya perubahan diri kiranya sudah jelas. Peristiwa
apapun pada dasarnya berpeluang untuk menjadi pemicu terjadinya perubahan diri,
apalagi pembelajaran sebagai startegi atau serangkaian tindakan yang memang
dirancang secara sistematik untuk hal tersebut. Berdasarkan pemikiran semacam
ini, Cranton (2003) merekomendasikan beberapa strategi yang dapat digunakan, 7
di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menunjukkan sejumlah peristiwa yang sama sekali berbeda dari apa yang selama
ini diyakini, dialami, didengar, atau dibaca seseorang yang bersangkutan.
2. Mengungkap makna yang sesungguhnya dari anggapan-anggapan yang selama
ini diikuti orang secara begitu saja atau yang umumnya tak disadari orang.
3. Melakukan perenungan secara kritis dalam arti mempertanyakan atau
menguji kebenaran asumsi-asumsi yang ada berkenaan dengan dari mana asal asumsi
itu, apa sebetulnya akibat yang bakal terjadi jika mengikutinya, dan mengapa
asumsi itu dipandang begitu penting.
4. Bersikap terbuka atau membuka diri terhadap pandangan lain yang berbeda,
5. Melibatkan seseorang pada pembicaraan-pembicaraan yang berbukti,
alasan-alasan yang teruji, pandangan-pandangan alternatif yang tertelusuri, dan
pengetahuan-pengetahuan yang disepakati.
6. Melakukan perubahan dengan sengaja asumsi-asumsi atau
pandangan-pandangan yang telah dimiliki seseorang atau masyarakat sehingga sikap
mereka menjadi lebih terbuka dan lebih bijak.
7. Betul-betul melakukan tindakan perbaikan, atau bertindak, berbicara, dan
berfikir yang betul-betul sejalan dengan asumsi-asumsi atau pandangan-pandangan
yang telah ditransformasi.
D.
Praktik-praktik Penting dan Kondisi-kondisi
Ideal untuk menerapkan Pembelajaran Transformatif
Di
bawah ini merupakan tindakan-tindakan serta keadaan-keadaan penting dalam
menerapkan pembelajaran transformatif seperti yang ditunjukkan oleh J. Mezirow
dan para peneliti sesudahnya mendukung serta memperluas penemuan-penemuannya :
1. Kondisi-kondisi belajar yang ideal
Kondisi-kondisi belajar yang meningkatkan rasa
keamanan, keterbukaan serta kepercayaan (contohnya kelayakan lingkungan
pelatihan).
2. Situasi pembelajaran yang terbuka dan mengutamakan
refleksi kritis
Dibentuknya situasi pembelajaran yang demokratis,
terbuka, rasional, memiliki akses kepada semua informasi yang ada serta
mengutamakan refleksi kritis.
3. Pembelajaran transformatif sebagai pengalaman
Pembelajaran yang mensyaratkan adanya saling berbagi
pengalaman hak asasi manusia secara pribadi maupun profesional
4.
Kurikulum yang
berpusat pada peserta
Metode-metode struktural efektif yang mengutamakan
pendekatan berpusat pada siswa, mengangkat otonomi, keterlibatan dan kerjasama
para siswa. Kegiatan-kegiatan yang memberi dukungan terhadap eksplorasi
perspektif pribadi alternatif, pengajuan masalah serta refleksi kritis.
5. Umpan balik dan penilaian diri
Keadaan-keadaan pembelajaran yang mendukung umpan
balik yang layak dan tepat waktu merupakan sebuah aspek utama dalam proses
pembelajaran partisipatif. Berada dalam sebuah lingkungan yang mendukung
kemampuan untuk tidak memberikan kritik terhadap ide orang lain secara pribadi
dan bagaimana menanggapi kritik dari orang lain.
6.
Pengaturan
kelompok untuk pembelajaran transformatif
Kondisi-kondisi signifikan bagi pembelajaran
transformatif dalam konteks kelompok meliputi:
a. Kesempatan
untuk saling mengenal latar belakang budaya dari seluruh peserta di dalam
kelompok.
b. Perlunya
menghargai dan tidak menghindari “ketidaksepahaman dan konflik”.
c. Keharusan
melaksanakan ide-ide baru
7.
Karakteristik
Fasilitator
‘Guru’ harus dapat dipercaya, bersikap empati,
peduli, mempertahankan keaslian, jujur dan menunjukan integritas tingkat
tinggi.
F.
Daftar Rujukan
Moedzakir, M. Djauzi. 2010. Konsep dan Strategi Pembelajaran Transformasi untuk PLS Oleh M. Djauzi Moedzakir (Ketua Jurusan PLS FIP UM) (Online), (http://www.berkarya.um.ac.id) diakses 1 Maret 2012
Arifin, Herizal. Efendi. 2011. Transformasi Sosial, Pembelajaran
Transformatif, dan Potensial Transformatif (Online), (http://www.herizal-effendi-arifin.blogspot.com)
diakses 1 Maret 2012
Neisa, saya suka tulisan ini. ini bagus sekali. teruslah menulis dan berbagi. salaam kenal, Herizal e arifin.
BalasHapus