Minggu, 15 April 2012

Pembelajaran Berdasarkan Teori Transformatif


A. Pendahuluan
Pembelajaran transformatif merupakan sebuah konsep atau substansi baru tetapi telah menjadi bahan kajian di berbagai bidang. Substansi ini bahkan telah mulai tampil sebagai sebuah teori yang paling banyak didiskusikan dan diteliti dalam bidang pendidikan orang dewasa selama lebih dari 25 tahun terakhir ini. Teori pembelajaran transformatif telah menjadi wilayah kajian yang ditandai dengan semakin meningkatkan jumlah publikasi jurnal dan penyelenggaraan konferensi internasional dua kali setahun yang secara khusus membahas penelitian tentang pembelajaran transformatif, yang pada saat ini penelitian untuk disertasi saja telah ada lebih dari 50 buah (Taylor, 2007). Pembelajaran transformatif merupakan teori belajar yang unik, abstrak, dan ideal dengan puncaknya yang disebut critical reflection (renungan kritis). Dalam kaitan ini belajar dipahami sebagai sebuah proses pemberian makna baru terhadap pengalaman untuk mengarahkan tindakan mendatang (Mezirow & Associates,1990).
B. Konsep Dasar Pembelajaran Transformatif
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa transformasi pada dasarnya adalah sebuah proses perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang menghasilkan perubahan mendasar pada diri peserta didik. Jadi pembelajaran yang tidak memberikan dampak perubahan mendasar pada diri peserta didik bukanlah sebuah pembelajaran transformatif.
Daszko, Macur & Sheinberg (2004) menulis bahwa dalam Webster Dictionary disebutkan: „To transform means to change in form, appearance or structure; meta-morphoses; to change condition, nature or character; to change into another substance.” (“Untuk mengubah cara untuk mengubah dalam bentuk, penampilan atau struktur; meta-morphoses, untuk mengubah keadaan, sifat atau karakter; untuk berubah menjadi zat lain ").
Dinyatakan selanjutnya bahwa: „That is, while all transformation is change, not all change is transformation. Transformation is a change in kind; not a change in degree.” (Artinya, sementara transformasi semua berubah, tidak semua perubahan adalah transformasi. Transformasi adalah perubahan dalam jenis, bukan perubahan dalam derajat).
 Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa transformasi berarti (a) merubah bentuk, penampilan atau struktur; (b) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi. Dengan demikian semua transformasi adalah perubahan, tetapi tidak semua perubahan adalah transformasi. Perubahan lebih bersifat superfisial, sedangkan transformasi lebih bersifat substansial.
Lebih lanjut Cranton (2003) menjelaskan bahwa: At its core, transformative learning theory is elegantly simple. Through some event, which could be as traumatic as losing a job or as ordinary as an unexpected question, an individual becomes aware of holding a limiting or distorted view. If the individual critically examines this view, opens herself to alternatives, and consequently changes the way she sees things, she has transformed some parts of how she makes meaning out of the world. (Pada intinya, teori belajar transformatif adalah elegan sederhana. Melalui beberapa acara, yang bisa sama traumatis seperti kehilangan pekerjaan atau sebagai biasa sebagai pertanyaan tak terduga, seorang individu menjadi sadar memegang pandangan yang membatasi atau terdistorsi. Jika individu secara kritis menguji pandangan ini, membuka dirinya untuk alternatif, dan akibatnya mengubah cara dia melihat sesuatu, ia telah mengubah beberapa bagian dari bagaimana dia membuat yang berarti keluar dari dunia).
Peristiwa perubahan diri sering terjadi terutama setelah seseorang mengalami sebuah peristiwa yang sangat tidak diharapkan, mengecewakan, mengherankan, atau membuat-nya trauma. Misalnya saja seorang mahasiswa mengulang semester selanjutnya. Dengan peristiwa tersebut, seseorang biasanya menjadi sadar dan pikirannya terbuka ke alternatif lain guna mendapatkan solusi. Jika hal seperti ini terjadi, maka seseorang yang bersangkutan mengalami sebuah transformasi.
Sebenarnya peristiwa transformasi juga bisa terjadi dalam konteks yan sederhana. Sekedar ilustrasi, seorang sekretaris eksekutif sebuah perusahan yang ikut acara Take Him Out di Indosiar mengaku bahwa dengan banyak membaca dia mendapat banyak inspirasi. Seorang dosen senior mengaku bahwa melalui diskusi dia hampir selalu memperoleh inspirasi baru. Sebuah kisah, setelah seseorang mendapatkan sms dari seorang teman lama yang pernah menjadi „sahabat spesial“ yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepadaNya, langsung dia ingat dan sadar bahwa selama ini dirinya telah melakukan berbagai kesibukan berat yang tak jelas arahnya padahal dulu dia pernah mempedomani firman tersebut dan hidupnya tenang. Maka sejak saat itu dia terbayang kembali semua kenangan masa lalu, ingat siapa dirinya yang sebenarnya, siapa keluarganya, bagaimana masa remajanya dulu, siapa saja yang telah berjasa mendidik dirinya, kemudian dia sering merenung dan akhirnya memutuskan untuk merubah diri dan arah hidupnya serta kembali mempedo-mani prinsip tersebut agar hidupnya kembali tenang dan bahkan agar sisa hidupnya menjadi lebih bermakna.
Diketengahkan lebih lanjut oleh Cranton (2003) bahwa: It is easier and safer to maintain habits of mind than to change. It may take a significant or dramatic event to lead us to question assumptions and beliefs. Other times, though, it is an incremental process in which we gradually change bits of how we see things, not even realizing a transformation has taken place until afterward. (Lebih mudah dan lebih aman untuk mempertahankan kebiasaan pikiran dari berubah. Mungkin perlu beberapa peristiwa penting atau dramatis untuk memimpin kita untuk mempertanyakan asumsi dan keyakinan. Lain kali, meskipun, itu adalah proses bertahap di mana kita secara bertahap mengubah bit dari bagaimana kita melihat sesuatu, bahkan tidak menyadari transformasi telah terjadi sampai sesudahnya).
Mempertahankan atau memelihara suatu kebiasaan lebih mudah dari pada merubahnya. Apalagi merubah hal-hal yang sudah mantap, sudah menjadi sebuah prinsip hidup atau bahkan keyakinan. Yang dimaksud keyakinan disini bukan hanya keyakinan yang terkait dengan agama, melainkan juga keyakinan terhadap diri, keyakinan terhadap kejujuran atau kebaikan seseorang, keyakinan terhadap dokter, terhadap keselamatan dalam suatu kondisi tertentu dan sebagainya. Namun demikian, perubahan bagaimanapun juga perlu dilakukan dan yang mengupayakan terutama adalah diri sendiri.
Transformasi memang pada dasarnya adalah sebuah proses atau peristiwa perubahan diri, sehingga yang paling menentukan adalah diri sendiri, diri orang yang bersangkutan, bukan orang lain. Karena itu perubahan diri merupakan inti dari proses transformatif learning. Artinya, transformasi mempersyaratkan upaya, kesadaran, dan kesengajaan dari seseorang yang bersangkutan. Upaya tersebut diistilahkan dengan refleksi atau renungan, yaitu sebuah proses dan kemampuan memonitor, mengevaluasi, dan mengarahkan diri. Makin kuat kemampuan tersebut, makin profesional seseorang dalam melaksanakan suatu tugas. Sebaliknya makin lemah kemampuan tersebut pada diri seseorang, makin kurang profesional seseorang dalam melaksanakan tugas apa saja. Substansi ini oleh Flavell (1992) disebut metakognisi dan menurut hasil penelitian Moedzakir (1998) substansi tersebut mantap keberadaannya pada seseorang yang memiliki filosofi pribadi yang kuat dan relevan dengan pekerjaannya. Hal ini ternyata juga sejalan dengan pandangan Elias & Merriam (2005) dan Merriam & Brockett (2007).
Transformasi berkenaan baik dengan individu, komunitas ataupun organisasi. Daszko, Macur & Sheinberg (2004) menyatakan bahwa transformasi bermula dari pemahaman yang mendalam terhadap suatu pengetahuan. Dengan pemahaman semacam itu individu memberi makna baru terhadap kehidupan, peristiwa, dan interaksinya dengan orang lain. Begitu seseorang memahami suatu pengetahuan secara mendalam, dia segera mengaplikasikan konsep, prinsip ataupun prosedur pengetahuan tersebut pada setiap interaksinya yang sepadan dengan orang lain. Earley (2004) bahkan memaknai transformasi individu sebagai transformation of consciousness (transformasi kesadaran).
Yang diaplikasikan kedalam suatu tindakan sosial. Dalam pemahaman yang seperti ini, transformasi bisa mencakup bidang-bidang lain yang lebih luas, termasuk unsur-unsur psikoterapi, spiritual, dan sosial. Bahkan selanjutnya transformasi juga bisa mencakup konsep-konsep kapasitas sosial dan psikologis ke arah tujuan-tujuan kasih sayang, harapan hidup, semangat, dan persahabatan.
Berdasarkan pengertian pokok tentang transformasi di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran transformatif adalah pembelajaran yang mampu menghasilkan perubahan pada diri peserta didik. Pembelajaran yang tidak memberikan dampak perubahan mendasar pada diri peserta didik dengan demikian sulit disebut sebuah pembelajaran transformatif.
Secara singkat belajar dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi diri sendiri. Potensi yang diubahnya bisa pengetahuan, keterampilan, ataupun sikap. Cara untuk mengubah bisa berupa upaya menghafal, memahami, mencermati, mengkritisi ataupun menalar suatu hal, bisa berupa melatih diri untuk menguasai keterampilan tertentu, membiasakan diri untuk melakukan sesuatu ataupun menyadari hakikat sesuatu nilai. Apabila dikaji lebih lanjut, belajar pada dasarnya adalah peristiwa psikhis, perubahan kemampuan, upaya aktif, kegiatan manusia, sebuah proses, bahkan kebutuhan.

C. Strategi Pembelajaran Transformatif
Dari penjelasan tentang konsep dasar transformasi dan pembelajaran transformatif di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran transformatif telah menjadi sebuah strategi pembelajaran tersendiri. Di dalamnya terdapat kandungan potensi yang luar biasa. Apabila potensi tersebut dapat diaplikasikan kedalam setiap kegiatan pendidikan, maka dapat diharapkan bahwa semua kegiatan pendidikan merupakan  kegiatan yang sangat menjanjikan.
Dewasa ini telah berkembang beberapa perspektif teori belajar transformasional, di antaranya adalah transformasi rasional atau transformasi personal oleh Mezirow, transformasi pendidikan atau transformasi individu oleh Boyd, dan transformasi sosial atau transformasi emansipatori oleh Freire (Taylor, 1998). Menurut transformasi rasional, proses belajar transformatif adalah proses pembangunan makna baru terhadap pengalaman diri sendiri berdasarkan interpretasi sebelumnya guna memandu tindakan –tindakan yang akan datang. Teori ini menjelaskan bagaimana harapan, kerangka asumsi budaya, dan anggapan-anggapan seseorang mempengaruhi makna yang diperoleh dari pengalaman barunya. Kegiatan belajar dilakukan melalui dua ranah, yaitu instrumental dan komunikatif. Belajar instrumental difokuskan pada proses pemecahan masalah, sedangkan belajar komunikatif ditekankan pada pemahaman substansi yang terkandung di dalam pembicaraan orang lain, misalnya tentang nilai, cita-cita, perasaan, keputusan moral, dan konsep-konsep kebebasan, keadilan, kasih sayang, buruh, otonomi, komitmen dan demokrasi.
Selanjutnya transformasi pendidikan atau transformasi individu berakar dari psikologi analisis yang mengartikan transformasi sebagai perubahan mendasar di dalam pribadi seseorang sebagai akibat dari pengintegrasian dilema pribadi dan perluasan kesadaran diri. Diyakini bahwa hanya melalui transformasi perubahan diri yang signifikan bisa terjadi. Tujuan utama transformasi adalah membebaskan diri individu dari pola-pola kehendak dan norma budaya yang menghambat potensi aktualisasi diri. Jadi jika Mezirow menfokuskan diri pada konflik kognitif yang dialami seseorang dalam hubungannya dengan budaya dan menempatkan ego sebagai pemain utama dalam pencapaian transformasi, maka Boyd menfokuskan diri pada upaya mengatasi konflik di dalam internal diri individu untuk mencapai keharmonisan karena diri (self) merupakan bagian sentral dan integral dari totalitas kepribadian.
Terakhir, transformasi emansipatori diartikan sebagai proses pembebasan kehidupan dari unsur-unsur pembelenggu, sebuah proses yang berkelanjutan, tiada henti dan sekaligus dinamis. Freire menekankan transformasi sosial melalui penggugahan kesadaran kritis (conscientization) masyarakat dan menempatkan proses pendidikan sebagai sarana yang tepat untuk keperluan tersebut. Karena itu refleksi kritis dipandang sebagai kata kunci transformasi. Semakin kritis peserta didik, semakin mampu yang bersangkutan mengubah kenyataan hidupnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik bertanya Sokratik (Jarvis, 1984). Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengarahkan atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang urut dan logis kepada peserta didik hingga mereka terdorong untuk merespon dan mengekspresikan pengeta-huan yang telah dimilikinya, yang belum pernah terkristalisasi oleh pemikirannya sendiri.
Selanjutnya berkenaan dengan aplikasi strategi pembelajaran transformatif, Kolb (1984) mengajukan sebuah teori atau model pembelajaran yang disebutnya sebagai learning style model ataupun experiencial learning theory. Model pembelajaran ini secara konseptual divisualisasikannya sebagai berikut.
Sekedar sebuah ilustrasi berkenaan dengan pengalaman dapat diambil sebuah pengalaman dalam beribadah. Di antara pengalaman yang paling sering atau paling banyak dirasakan setiap orang adalah keresahan atau ketidaktenangan hati. Ketika  seseorang sedang berada di sebuah majelis taklim mendengar penjelasan ustadz bahwa ketidaktenangan hati bisa diatasi dengan mengikuti pelatihan sholat khusu’, tiba-tiba saja pada diri orang tersebut timbul rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencobanya, keinginan tersebut ternyata semakin kuat dan mendorongnya untuk mencaritahu dimana ada pelatihan sholat khusus’ dan kebetulan segera mendapatkan informasi yang dicari kemudian mengikutinya serta merasakan betul manfaatnya.
Di sebuah pengajian interaktif bakda subuh di RCTI, seorang ibu muda menkonsultasikan kegelisahan terhadap suaminya karena sangat tampan hingga hampir setiap hari dia menelpon sang suami bahkan pernah dalam sehari dia menelpon delapan kali. Dijawab oleh sang ustadz bahwa perasaan gelisah yang berlebihan sebenarnya hanya melelahkan diri sendiri. Kegelisahan bisa diatasi dengan pendekatan spiritual dan pendekatan logika atau akal sehat. Secara logika atau akal sehat ibu harus siap mental dengan memiliki suami yang mempunyai banyak kelebihan, seperti sangat tampan, sangat kaya, berpangkat tinggi dan sebagainya. Wajar kan kalau suami yang sangat tampan berpeluang menarik perhatian wanita-wanita lain. Jadi yang terbaik adalah sholat memohon ketenangan hati dan keteguhan iman, mendo’akan agar suami ibu senantiasa mendapat petunjuk ke jalan yang lurus dan dijauhkan dari maksiat oleh Allah, dan untuk itu titipkanlah dia sepenuhnya kepada Allah. Manusia itu makhluk yang memiliki pembawaan rasa gelisah dan syaithon menggunakan pintu perasaan tersebut untuk masuk ke dalam hati manusia. Karena itu gelisah adalah sangat manusiawi, sangat wajar, tetapi kegelisahan yang berlebihan berarti kurang wajar. Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa sifat asli manusia suka mengeluh (jika mendapat kesulitan putus asa, jika mendapat kesenangan lupa diri). Bahkan dalam pendidikan, orang tua ada yang sengaja menim-bulkan kegelisahan pada diri anak untuk memberi semangat berusaha dengan mengatakan ”Hei kalau bergurau terus waktumu habis tidak untuk belajar, pada hal ujian sudah tinggal dua hari lagi.” Jadi atasi perasaan gelisah yang berlebihan dengan logika dan lebih mendekatlah diri kepada Allah. Orang yang bersangkutan langsung menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pak ustadz karena merasa lega dengan penjelasan pak ustadz bahkan mulai merasakan adanya ketenangan.
Berkenaan dengan apakah strategi pembelajaran betul-betul memiliki peluang untuk mempengaruhi terjadinya perubahan diri kiranya sudah jelas. Peristiwa apapun pada dasarnya berpeluang untuk menjadi pemicu terjadinya perubahan diri, apalagi pembelajaran sebagai startegi atau serangkaian tindakan yang memang dirancang secara sistematik untuk hal tersebut. Berdasarkan pemikiran semacam ini, Cranton (2003) merekomendasikan beberapa strategi yang dapat digunakan, 7 di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menunjukkan sejumlah peristiwa yang sama sekali berbeda dari apa yang selama ini diyakini, dialami, didengar, atau dibaca seseorang yang bersangkutan.
2. Mengungkap makna yang sesungguhnya dari anggapan-anggapan yang selama ini diikuti orang secara begitu saja atau yang umumnya tak disadari orang.
3. Melakukan perenungan secara kritis dalam arti mempertanyakan atau menguji kebenaran asumsi-asumsi yang ada berkenaan dengan dari mana asal asumsi itu, apa sebetulnya akibat yang bakal terjadi jika mengikutinya, dan mengapa asumsi itu dipandang begitu penting.
4. Bersikap terbuka atau membuka diri terhadap pandangan lain yang berbeda,
5. Melibatkan seseorang pada pembicaraan-pembicaraan yang berbukti, alasan-alasan yang teruji, pandangan-pandangan alternatif yang tertelusuri, dan pengetahuan-pengetahuan yang disepakati.
6. Melakukan perubahan dengan sengaja asumsi-asumsi atau pandangan-pandangan yang telah dimiliki seseorang atau masyarakat sehingga sikap mereka menjadi lebih terbuka dan lebih bijak.
7. Betul-betul melakukan tindakan perbaikan, atau bertindak, berbicara, dan berfikir yang betul-betul sejalan dengan asumsi-asumsi atau pandangan-pandangan yang telah ditransformasi.
D.  Praktik-praktik Penting dan Kondisi-kondisi Ideal untuk menerapkan Pembelajaran Transformatif
Di bawah ini merupakan tindakan-tindakan serta keadaan-keadaan penting dalam menerapkan pembelajaran transformatif seperti yang ditunjukkan oleh J. Mezirow dan para peneliti sesudahnya mendukung serta memperluas penemuan-penemuannya :
1.    Kondisi-kondisi belajar yang ideal
Kondisi-kondisi belajar yang meningkatkan rasa keamanan, keterbukaan serta kepercayaan (contohnya kelayakan lingkungan pelatihan).
2.    Situasi pembelajaran yang terbuka dan mengutamakan refleksi kritis
Dibentuknya situasi pembelajaran yang demokratis, terbuka, rasional, memiliki akses kepada semua informasi yang ada serta mengutamakan refleksi kritis.
3.    Pembelajaran transformatif sebagai pengalaman
Pembelajaran yang mensyaratkan adanya saling berbagi pengalaman hak asasi manusia secara pribadi maupun profesional
4.    Kurikulum yang berpusat pada peserta
Metode-metode struktural efektif yang mengutamakan pendekatan berpusat pada siswa, mengangkat otonomi, keterlibatan dan kerjasama para siswa.  Kegiatan-kegiatan yang memberi dukungan terhadap eksplorasi perspektif pribadi alternatif, pengajuan masalah serta refleksi kritis.
5.    Umpan balik dan penilaian diri
Keadaan-keadaan pembelajaran yang mendukung umpan balik yang layak dan tepat waktu merupakan sebuah aspek utama dalam proses pembelajaran partisipatif. Berada dalam sebuah lingkungan yang mendukung kemampuan untuk tidak memberikan kritik terhadap ide orang lain secara pribadi dan bagaimana menanggapi kritik dari orang lain.
6.    Pengaturan kelompok untuk pembelajaran transformatif 
Kondisi-kondisi signifikan bagi pembelajaran transformatif dalam konteks kelompok meliputi:
a.    Kesempatan untuk saling mengenal latar belakang budaya dari seluruh peserta di dalam kelompok.
b.    Perlunya menghargai dan tidak menghindari “ketidaksepahaman dan konflik”.
c.       Keharusan melaksanakan ide-ide baru
7.    Karakteristik Fasilitator
 ‘Guru’ harus dapat dipercaya, bersikap empati, peduli, mempertahankan keaslian, jujur dan menunjukan integritas tingkat tinggi.

F. Daftar Rujukan

Moedzakir, M. Djauzi. 2010. Konsep dan Strategi Pembelajaran Transformasi untuk PLS Oleh M. Djauzi Moedzakir (Ketua Jurusan PLS FIP UM) (Online), (http://www.berkarya.um.ac.id)  diakses 1 Maret 2012

Arifin, Herizal. Efendi. 2011. Transformasi Sosial, Pembelajaran Transformatif, dan Potensial Transformatif  (Online), (http://www.herizal-effendi-arifin.blogspot.com) diakses 1 Maret 2012

Buchori, Mochtar. & Meitasandrashanti. 2009. Transformasi Pendidikan (Pendidikan Kritis Transformatif). Jakarta : Ar Ruzz Media

1 komentar:

  1. Neisa, saya suka tulisan ini. ini bagus sekali. teruslah menulis dan berbagi. salaam kenal, Herizal e arifin.

    BalasHapus